Minggu, 29 Maret 2015

Manusia dan Kebudayaan: Rambu Solo, Upacara Pemakaman Khas Tana Toraja

Assalamualaikum readers! Sudah lama tak berjumpa. 


Pada kesempatan kali ini saya akan membahas salah satu kebudayaan Indonesia khas dari Sulawesi Selatan, Rambu Solo. Sebelumnya saya ingin sedikit bercerita mengapa saya memilih kebudayaan ini untuk dibahas. Sekitar 4 tahun yang lalu saat saya masih menginjak bangku SMP kelas 3, saya mendengar cerita pengalaman seorang guru les saya tentang upacara pemakaman yang diadakan di Tana Toraja ini. Saat itu beliau bercerita bagaimana ia melihat langsung upacara tersebut. Walaupun dari apa yang beliau ceritakan sedikit menyeramkan namun itulah yang membuat saya penasaran dan justru ingin melihat langsung prosesi upacara tersebut. Saat itu jujur saya tidak begitu paham dengan apa yang dimaksud Rambu Solo karna yang saya tangkap dari cerita guru les saya hanya bagaimana orang-orang daerah sana melangsungkan upacara pemakaman dengan cara yang unik. Berhubung pada kali ini saya diharuskan membuat sebuah tulisan dengan tema kebudayaan, saya putuskan untuk membahas kebudayaan tersebut :). 

Ya, Rambu Solo. Kebudayaan yang berasal dari Sulawesi Selatan ini diadakan oleh masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya. Upacara ini dianggap sebagai penyempurnaan, karna seseorang baru dianggap benar-benar wafat apabila telah menyelesaikan seluruh prosesi upacara tersebut. Jika belum, maka orang tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang sakit atau lemah, sehingga ia akan tetap diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup yakni dibaringkan ditempat tidur, diberi makan dan minum bahkan diajak berbicara. 

Upacara Rambu Solo, Upacara adat pemakaman khas Toraja
Upacara adat ini terbilang unik. Disamping diperlukan biaya yang tidak sedikit dan banyaknya persyaratan yang harus diikuti, terdapat juga nilai-nilai yang memiliki makna tertentu bagi masyarakat Toraja. Nilai-nilai tersebut diantaranya :
  • Menghormati leluhur. Leluhur memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan orang Toraja dan oleh karena itu leluhur harus dihormati. Salah satunya dengan menggelar upacara Rambu Solo ini.
  • Nilai kekerabatan. Nilai ini tercermin dari ungkapan simpati kerabat yang datang dengan membawa beragam bantuan. Hal ini tentu saja kian menguatkan kekerabatan mereka.
  • Pelestarian tradisi. Upacara Rambu Solo merupakan warisan leluhur, dan dengan menggelar upacara ini merupakan upaya pelestarian tradisi.
  • Menjaga semangat suku. Pelaksanaan upacara adat Rambu Solo juga merupakan salah satu upaya untuk menjaga semangat kesatuan suku karena upacara ini menjadi perekat masyarakat Toraja.
  • Sakralitas dan spiritualitas. Nilai ini tercermin dari pelaksanaan upacara yang kental dengan nuansa sakral karena arwah leluhur diyakini hadir dalam acara ini.
Kuburan Dinding Tana Toraja
Rambu solo adalah warisan ajaran leluhur Toraja. Upacara ini dilaksanakan berdasarkan keyakinan leluhur yang disebut aluk todolo, berarti kepercayaan atau pemujaan terhadap roh leluhur. Di dalam aluk todolo terdapat aluk pitung sabu pitu ratu pitungpulo atau 777 aturan, salah satunya yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur pada saat kematian. Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang diupacarakan, Rambu Solo dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
  1. Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua atau budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman dengan memukulkan wadah tempat makan babi) danpasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
  2. Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini antara lainbai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu ekor babi), di isi(pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor babi).  
  3. Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi (bangsawan menengah) dantana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuahsimbuang (menhir) sebagai monumen untuk menghormati orang yang wafat.
  4. Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi) yang digelar selama 3 hari 3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan diongan (rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal persembahan 9-12 kerbau), rapasan sundun (rapasan lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak terbatas), dan rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan persembahan yang diandaikan 30 ekor kerbau).
Saat ini, upacara adat Rambu Solo di masyarakat Toraja sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam kelengkapan persembahan. Faktor ekonomi menjadi salah satu akar persoalannya karena hewan persembahan biasanya berharga cukup tinggi. Misalnya, jenis kerbau yang digunakan bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya antara 10–50 juta/ekor. Dalam Pelaksanaan upacara Rambu Solo, terdapat beberapa orang yang memiliki peran khusus yang terdiri dari:
  • To mebalun atau to ma’kayo, bertugas memimpin dan membina upacara pemakaman.
  • To ma’pemali, bertugas melayani, merawat, dan memelihara jenazah selama upacara berlangsung.
  • To ma’kuasa, bertugas membantu secara umum pelaksanaan pemakaman.
  • To ma’sanduk dalle, perempuan yang khusus menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan.
  • To dibulle tangnga, perempuan yang bertugas sebagai penghubung antarpetugas upacara yang lain, khususnya yang berkaitan dengan sesaji.
  • To sipalakuan, orang yang bertugas memenuhi semua kebutuhan perawatan jenazah dan upacara.
  • To ma’toe bia’, seorang laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang obor selama upacara berlangsung.
  • To masso’ boi rante, perempuan yang bertugas membuka jalan ke rumah duka atau lapangan tempat upacara.
  • To mangengnge baka tau-tau, seseorang yang khusus membawa tempat pakaian dari patung. 
    Beberapa peralatan penting tentu diperlukan untuk mendukung jalannya prosesi. peralatan tersebut berupa:
  • Tombi saratu, kain panjang seperti umbul-umbul.
  • Tuang-tuang atau tanda upacara.
  • Gendang.
  • Maa’, kain berukir sebagai tanda kemuliaan.
  • Sesaji.
  • Gong atau bombongan.

     Prosesi Upacara ini terdiri atas tiga bagian. Yang pertama yakni persiapan. Persiapan sendiri meliputi pertemuan keluarga, pembuatan pondok upacara dan menyediakan peralatan upacara. Setelah semua persiapan terpenuhi diikuti oleh Pelaksanaan. Pelaksanaan pun terbagi menjadi dua tahap yaitu: 

      1. Aluk Pia atau Aluk Banua

      Pada upacara pemakaman di halaman rumah, jenazah tetap di rumah duka. Upacara tahap pertama ini digelar selama 4 hari berturut-turut. Pada hari pertama dilakukan persembahan sesaji berupa kerbau dan babi, dengan diiringi nyanyian semalam suntuk (ma’badong). Di hari pertama ini, dilakukan juga perubahan letak jenazah sekaligus status mayat berubah menjadi to makula, yaitu orang yang dianggap benar-benar telah wafat. Hari kedua, selain tetap melantunkan nyanyian semalam suntuk, keluarga menerima masyarakat dan kerabat yang biasanya datang dengan membawa sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan ini sebagai tanda bahwa kelak jika sang penyumbang juga menyelenggarakan upacara, maka yang disumbang harus mengembalikannya, meskipun tidak dianggap sebagai utang. Para tamu biasanya akan memperkenalkan kerabat masing-masing sehingga dari sini mereka akhirnya saling mengetahui jalinan kekerabatan mereka. Pada hari ketiga diadakan dua ritual. Pertama yaitu ma’bolong, penyembelihan babi di pagi hari olehto mebalun di mana semua orang berpakaian hitam sebagai tanda berkabung. Kedua, ma’batang, penyembelihan kerbau di lapangan dan dilanjutkan dengan pembacaan mantra pujian pada leluhur dari atas menara daging (bala’kayan). Di hari keempat dilakukan ritual memasukkan jenazah ke dalam sebuah peti kayu. Kayu yang digunakan harus kayu yang sudah mati (kayu mate) dan menjadi simbol bahwa jenazah telah benar-benar mati.

2. Aluk Palao atau Aluk Rante

Tahap ini digelar di lapangan dengan 4 prosesi, yaitu ma’ palao, allo katongkonan, allo katorroan, mantaa padang, dan meaa.

- Ma’ palao, jenazah dari lumbung dipindahkan di lapangan dan dibawa dengan iringan arak-arakan. Sesampai di lapangan, kerbau dipotong dengan ditebas langsung lehernya. Daging kerbau lalu dibagikan kepada yang hadir dengan sebelumnya didendangkan syair-syair kedukaan yang diucapkan dalam bahasa adat Toraja.
Allo katongkkonankeluarga menerima tamu yang datang dan mencatat pemberian sumbangan.
- Allo katorroankeluarga dan petugas istirahat sejenak untuk membicarakan persiapan acara puncak pesta pemakaman. Pada tahap ini, disepakati lagi berapa kerbau yang akan dipotong.
- Mantaa padangacara puncak yaitu pemotongan kerbau yang telah disepakati sebelumnya. Daging kerbau kemudian dibagikan kepada keluarga dan kerabat sesuai adat. Terkadang ada kerbau yang dibiarkan hidup tapi sudah diniatkan untuk disembelih dan disumbangkan untuk masyarakat.
- Me aajenazah diturunkan dari lakian atau ke tempat pemakaman, kemudian digelar ibadah pemakaman, ungkapan belasungkawa, ucapan terima kasih dari keluarga, dan prosesi pemakaman jenazah.       

Upacara Rambu Solo dinyatakan berakhir jika jenazah telah selesai dimakamkan. Saat ini, pelaksanaannya telah banyak berubah. Salah satu perubahannya adalah digelarnya upacara selama 12 hari dengan urutan acara sebagai berikut: Ma’pasuluk (pertemuan keluarga), mangriu’ batu (menarik batu simbuang), ma’ pasa tedong (menghitung ulang hewan korban), ma’ pengkalao (memindahkan jenazah ke tongkonan), mangisi lantang (mengisi pondok), ma’ pasonglo (memindahkan jenazah dari lumbung), allo katongkonan (keluarga menerima tamu), allo katorroan (istirahat), mantaa padang(memotong hewan korban), dan me aa (pemakaman jenazah).

Itulah sedikit pembahasan mengenai upacara adat pemakaman khas Toraja, Rambu Solo. Benar-benar unik dan sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat Indonesia bangga akan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sebenarnya masih banyak kebudayaan serupa yang tersebar di seluruh Indonesia. Semoga masyarakat Indonesia dapat terus melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada.


Sekian, Wassalamualaikum readers!