Senin, 08 Juni 2015

REGRET (fanfiction)

Tittle : Regret | Genre : Angst, Ficlet, Familyship 
Rated : G | Length : Oneshot | Created by : Me 
Inspired by (The Light by The Ark)

 *** 


Pulang larut membuatku mau tak mau berjalan ke stasiun. Bus yang biasanya mengangkut ku kesana jelas sudah tidak beroperasi sejak 30 menit yang lalu. Untungnya jarak dari kantor sampai tempat itu tidaklah jauh. Ditambah banyaknya toko yang masih buka membuat perjalanan ini tidak terlalu melelahkan.

Kaki-kaki ku terus melangkah, mata ku juga terus dimanjakan oleh kerlap kerlip lampu kota yang indah. Namun tiba-tiba semua fokusku tertuju pada sebuah toko. Hanya toko yang memajang beberapa tas sekolah dietalasenya. Tentu saja aku tidak tertarik untuk membeli. Tapi tas-tas itu mengingatkan ku pada anak itu.

* * * * * 

#flashback. 

"Halla, ayo cepat! Apa kau tega membiarkan ibu mati kedinginan disi.." Kata-kataku terhenti begitu melihat Halla tengah berdiri didepan sebuah toko dengan mata berbinar-binar. Melihatnya seperti itu jelas ia menginginkan benda yang terpajang disana lebih dari apapun. Aku yang penasaran dengan benda itu pun berjalan ke tempat Halla berdiri. "Bisakah ibu membelikan tas itu untuk ku?" tanya gadis berambut panjang itu dengan fokus yang masih terarah pada benda didepannya. 

"Ayolah disini semakin dingin, apa kau tidak kedinginan?" Bisa kulihat reaksi Halla yang langsung memasang wajah cemberutnya begitu kalimat itu keluar dari mulutku. 

"Ibu pelit." Dengan cepat ia membalikan tubuhnya dan berjalan tanpa menunggu ku terlebih dahulu. Melihat tingkahnya yang agak kekanak-kanakan diusianya yang hampir 17 tahun, membuatku ingin menertawakannya. 

"Baik-baik akan ibu belikan. Tapi tunggu sampai ibu mendapatkan gaji, bagaimana?" Ucapku sembari menyusulnya. Halla yang semula hanya melihat ke depan langsung menatapku dengan senyum lebar diwajahnya.
"Ibu janjikan?"
"Tentu! Begitu gaji itu diterima akan ibu belikan tas itu." Mendengar itu Halla langsung menggandeng tanganku dengan manja. Aku sendiri hanya menggelengkan kepala menanggapi sikapnya. 

* * * 

Perlahan aku membuka kedua mataku. Begitu terkejutnya saat aku mendapati jarum pendek menunjuk angka 7. Dengan cepat aku bangun dari tempat tidurku dan bergegas menuju ruangan disebelah kiri kamarku. 

"Aku sudah siap bu." Aku menghela nafas lega saat mengetahui Halla yang sudah dengan seragam trainingnya duduk manis diruang makan. Aku tidak tau bagaimana jadinya jika anak itu belum bangun. Hari ini adalah hari karya wisatanya dan jika ia telat jelas ia tidak bisa mengikuti acara itu. 

"Kau sudah sarapan?" Gadis itu menggeleng. 
"Baiklah biar ibu siapkan sarapan...." 
"Tidak usah, lebih baik sekarang ibu bersiap-siap untuk mengantarku. Biar aku saja yang menyiapkan sarapan." Aku agak terkejut mendengar ucapannya. Tapi tentu saja aku menyetujuinya karna sekarang sudah tidak ada banyak waktu lagi.
"Tunggu ibu ya." Halla mengibas-ngibaskan tangannya kemudian tersenyum padaku.

 * * * 

"Ibu, kapan ibu akan membelikan tas itu untuk ku?" 
"Lusa, ibu akan membelikannya lusa." Tiba-tiba gadis itu meregangkan rangkulannya pada lenganku.
"Apa tidak bisa malam ini?" 
"Maafkan ibu ya." Lagi, Halla menunjukan wajah cemberutnya padaku. Aku tau betapa inginnya ia pada tas itu. Lagipula tas yang ia miliki sekarang sudah terlihat usang. Aku bisa saja membelikannya malam ini, tapi statusku yang hanya seorang single parent membuat semuanya terasa sulit. Berusaha membuatnya tersenyum, aku pun melakukan hal yang biasanya kami lakukan. Dengan kedua tangan, ku bentuk senyuman diwajahnya. Awalnya ia kesal tapi tak lama kemudian suara tawa pecah dan mengiringi perjalanan kami ke terminal.

#flashback end.

* * * * * 

Aku menggosokan kedua tanganku, berusaha melawan rasa dingin yang menyerang. Setelah berjalan dari kantor, akhirnya aku sampai stasiun. Melihat keadaan tempat ini yang mulai sepi pengunjung dan juga malam yang semakin larut membuatku yakin hanya sedikit kereta yang beroperasi. Sembari menunggu, aku membuka bingkisan besar yang ada disampingku. Tas itu. 

Aku membelinya. Entah dorongan apa yang membuatku akhirnya membeli tas itu. Aku tau, membelinya sekarang akan sia-sia. Tapi hati ku merasa tak tenang jika tidak membelinya. Aku menatap lamat barang itu. Hanya sebuah tas ransel berwarna ungu dengan desain sederhana yang bahkan harganya tidak sebanding dengan daging sapi import. Aku terus bertanya-bertanya, kenapa keinginan anak itu hanyalah benda seperti ini? Bukankah remaja seumurannya menginginkan benda-benda mewah seperti ponsel atau gadget lainnya? Kenapa anak itu membuatnya menjadi seorang ibu yang buruk? Yang tidak bisa memenuhi keinginan anaknya hanya untuk tas seperti ini. Aku pikir aku akan menangis, tapi tidak. Air mata ini tidak sebanding dengan rasa penyesalan yang aku miliki saat ini. Ya, penyesalan. Aku menyesal tidak membelikan barang ini malam itu juga. 

* * * * * 

#flashback.

"Apa kau yakin tidak ada barang yang tertinggal?" Anak itu menganggukan kepalanya mantap. 
"Bekal? Kau sudah membawanya kan?" 
"Iya ibu..." 
"Bagaimana dengan obat mu? Jangan sampai asma mu kambuh dan kau tidak membawa obat.." Kata-kata ku terhenti saat Halla dengan cepatnya membuka tasnya dan mengambil obat yang ku maksud. 

"Ibu, aku sudah membawa semua yang kubutuhkan jadi berhenti mengkhawatirkan ku karna aku bukan bocah SD lagi." Sekarang giliran ku yang memasang wajah cemberutku. Jelas saja mendengar itu membuatku agak sedikit kesal. Memang benar dia bukan bocah SD lagi, tapi apa salah mengkhawatirkan anak sendiri? 
"Wajahmu aneh bu.." 
"Kau ini.." Aku menjitak dahinya lembut dan respon dari anak itu hanya kekehan kecilnya. 

"Ah itu dia busnya." Aku menengok kearah ujung jalan dan tampaknya bus yang akan ditumpangi anak ku sudah tiba. Aku membantunya memakaikan tas yang sempat ia lepas kemudian dengan iseng merapihkan rambut panjangnya. 

"Jangan lupa untuk mengabari ibu jika kau sudah sampai disana, ok?"
"ok." Dengan cepat ia mencium pipi kananku kemudian berlari ke arah bus yang sudah tiba didepan terminal. Aku melihatnya beberapa kali menengok ke arah belakang. Ia tersenyum dengan bahagianya sembari melambaikan kedua tanganya padaku. Aku sendiri membalas lambaiannya dan ikut tersenyum. Tapi entah perasaan apa yang mengganjal seperti ingin sekali meneriaki anak itu untuk tidak pergi. Hanya saja tiba-tiba suara ini tidak ingin keluar dari mulutku.

#flashback end.

* * * * * 

Jam 6 pagi. Aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sebenarnya hari ini bukanlah hari kerja melainkan akhir pekan. Tapi ada hal yang ingin sekali kulakukan. 

Dengan semangat aku menuju dapur rumahku, membuka kulkas yang ada diujung ruangan dan menyiapkan segala hal yang diperlukan. Bento, aku ingin sekali membuatnya. Makanan kesukaan Halla. Makanan yang gadis itu selalu bawa ketika ia ke sekolah. Makanan terakhir yang ku buatkan untuk dirinya.

Setelah semua yang kuperlukan telah siap, aku pun bergegas untuk membenahi diri. Ku pakai sebuah terusan dengan mantel karna saat ini cuaca sangat dingin. Tak lupa ku bawa tas yang semalam ku beli dan membawanya bersama bento yang ku buat.

Sejenak aku menghela nafasku. Biasanya rumah ini akan dipenuhi keributannya. Ia yang sibuk bersiap karna terlambat, ia yang sibuk karna ada barangnya yang hilang atau ia yang sibuk menggangguku membuat sarapan. Tapi yang ku dapati sekarang hanya kesunyian. Benar-benar sunyi seakan tak ada yang hidup dirumah ini. Sekilas ku tengok diriku pada pantulan cermin dan kemudian melakukan hal seperti biasanya. Membentuk senyuman diwajah dengan kedua tangan. 

* * * 

"Ibu datang berkunjung, halla." 

Sekarang disinilah aku. Di sebuah bukit pemakaman yang tak jauh dari kota. Aku berdiri didepan pusaran yang sejak sebulan lalu didiami oleh gadis itu. Ya, Halla. Anak itu. Ia mengalami musibah bersama teman-teman sekolahnya. Bus yang ia tumpangi oleng saat membawanya menuju tempat karya wisata. Sebenarnya ia bisa saja selamat. Tapi lamanya evakuasi membuat segalanya menjadi buruk. 

"Lihat, ibu membawa banyak barang kesini. Aku sengaja membeli lily karna kau bilang kau suka harumnya. Aku juga membawa bento kesukaanmu." Aku berusaha menahan tangisku saat meletakan barang-barang itu. Tapi tangis ku pecah saat aku meletakan barang yang terakhir. Tas itu. 

"M..maafkan ibu Halla, maafkan ibu. Ibu baru sempat membelikanmu tas ini. Maafkan ibu." Aku menangis sejadi-jadinya. Payah, padahal aku berusaha agar tetap tegar dihadapan makam anak ku. Tapi penyesalan ini benar-benar menyiksaku. Aku menyesal karna tidak menuruti permintaan terakhirnya. Aku menyesal tidak membelikannya barang itu. Aku menyesal tidak bisa menahannya untuk tidak pergi padahal aku ingin. Aku sangat menyesal. 

"Maafkan ibu karna menangis disini tapi kenapa kau tega sekali, hah? Ibu kesepian! Ayahmu sudah pergi terlebih dahulu dan kenapa sekarang kau menyusulnya? Kenapa kau tidak menemaniku lebih lama? Kenapa kau harus pergi diusia semuda ini?" Aku, menderita. Terkadang aku merasa tak ada lagi alasan ku untuk hidup. Ingin sekali aku mengakhiri semuanya. Tapi jika aku melakukannya akan membuatku menjadi sosok yang buruk. Dan aku tidak mau jika mereka yang disana (Halla dan suamiku) kecewa terhadapku.

Aku menyeka air mataku. Tak lupa membentuk senyuman diwajahku dengan kedua tangan. Ya, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus semangat. Seperti yang anak itu selalu ucapkan ketika berdoa sebelum makan. 

"semoga ibu dan aku panjang umur juga selalu sehat." 

Aku berjanji Halla, aku akan melewati semua penderitaan ini. Aku akan menjaga diriku agar tetap sehat dan panjang umur. Maafkan aku nak, semoga kau dapat beristirahat dengan tenang disana, bersama ayahmu. Aku yakin biarpun hanya seorang disini tapi tentu kau akan terus bersama ibu kan? Dan juga, kelak kita akan bertemu lagi. 


'Don't shed tears in any situation. Each drop is too precious. 
Lean on me I'll hold your hand. Even if the world turns its back on us.
The Light by The Ark 


-END-